cerpen kisah tragis korban longsor

Aku adalah ibu dari tiga orang anak yg masih kecil kecil suamiku hanya seorang petani dan kehidupan kami juga miskin namun aku masih bisa merasakan bahagia dlm hati.Itu dulu sebelum musibah menimpaku saat longsor meratakan bukit yang kami tempati meruntuhkan hidup dan semua harapanku.meluluh lantakan kehidupan anak anakku.Saat itu hujan deras selama berhari hari dan malam itu saat semua orang tertidur anakku si bungsu tak bisa tidur ia menangis semalaman padahal si bungsu tdk sedang sakit.Rumah kecil dengan tangisan si bungsu membuatku kuatir tangisannya akan terdengar ayahnya yang sedang tertidur kelelahan setelah seharian di bekerja di sawah sambil memeluk ke dua anaknya aku beranjak ke ruang tamu mencoba menenangkannya setelah berjam jam merengek tetap tidak mau diam.Tiba tiba aku mendengar suara berderak dari arah belakang rumah karena penasaran aku melihatnya masih tetap menggendong si bungsu aku ke dapur dan melihat apa yang terjadi ternyata tak ada apa apa padahal suara itu terdengar keras dengan hati galau dan penuh tanda tanya aku meninggalkan dapur menuju ke kamar untuk membangunkan suami belum sempat aku membangunkannya suara berderak itu datang lagi rumah seakan bergerak dengan setengah teriak aku memanggil suami dan anak anak agar terbangun.Aku menarik tangan si sulung menariknya dengan rasa panik ayahnya langsung menggendong si tengah dengan sarung yang tadi di pakainya utk selimutan.Kami berlari meninggalkan rumah di luar para tetangga sudah berhamburan panik dan berteriak gempa dan longsor agar kami cepat cepat menyelamatkan diri.sekeluarga kami berlari mencari tempat aman untuk berlindung.Beberapa saat kemudian rumahku sdh ambruk rata dengan tanah.tanah bergerak seperti tikar yang tergulung membuat kami benar benar panik rumah rumah menghilang dari pandangan.Jalan becek dan berlumpur menghambat perjalanan.Dengan langkah tertatih aku berlari sambil menggendong si bungsu dan memegang erat tangan si sulung.suami menggendong si anak tengah berada di depanku berteriak agar aku segera menyusulnya Akhirnya suami berhenti menungguku yg segera menyusulnya.dan mengambil tangan si sulung dari tanganku memintaku berjalan mendahuluinya agar berada di depannya.Berlari di jalan gelap dan berlumpur tidaklah mudah apa lagi tanah yang seakan akan bergerak ingin mendahului mengungsi.


Berlari dan terus berlari tak tahu arah kemana harus mencari tempat yang aman hanya kaki melangkah menuruti naluri.Namun tiba tiba aku teringat suamiku yang telah jauh berada di belakang aku kembali lagi menyusul suami dan anak anakku yang sedang berteriak teriak memanggilku.ku dekati mereka memang sedang berada dalam kesulitan suamiku terjatuh karena menginjak ranting pohon cepat cepat aku mengambil si sulung yang masih di tangannya Lumpur berusaha menyeretnya kutarik dengan keras setelah itu aku berusaha menarik ayahnya namun ayahnya menolak ia memintaku untuk mengambil si tengah yang sedang berontak berusaha melepaskan diri dari Lumpur dan gendongan ayahnya.aku menariknya dan ayahnya berusaha membuka ikatan sarung yang di pakai untuk menggendong.Dengan susah payah aku berhasil melepaskannya namun arus Lumpur membawa suamiku yang masih berusaha keluar arus.Arus terlalu deras menghanyutkannya samar samar aku melihat tangannya terangkat memintaku menjauh agar tak terbawa dan bisa menyelamatkan anak anak.terdengar asma allah dari mulutnya dan kepalanya berlahan lahan tenggelam.aku hanya bisa menangis berteriak memanggilnya yang semakin lama terbawa Lumpur tanpa bisa menolongnya.Seseorang berteriak menyadarkanku untuk berlari dari tempat itu sambil menuntun si sulung dan berusaha melepaskan salah satu anakku dari gendonganku namun aku menolak aku berlari, lari dan terus berlari tanpa arah menggendong kedua anakku dan sesekali memandang si sulung yang di tuntun orang lain.Orang orang berlari berhamburan tak tentu arah bingung mencari tempat yang aman sama sepertiku seakan akan kami hanya berputar putar di tempat itu tak lagi bisa mengenali tempat dimana keberadaan kami semua gelap semua panic semua seperti mimpi kaki hanya ingin terus berlari namun tak tahu harus lari ke mana letih tak terasakan lagi hati hanya ingin menangis mulut selalu ingin berteriak tak menentu.Dikejauhan terdengar suara adzan subuh saat itulah aku sadar ini semua bukan mimpi, mengikuti naluri aku berteriak memanggil si sulung untuk mengikutiku berlari ke arah suara adzan itu.Belum sampai di tempat suara itu sudah melihat orang orang berkerumun di sana mereka adalah para tetanggaku yang sampai terlebih dahulu dan para penduduk kampung yang mendengar suara berderak keras dan ingin melihat kejadian itu.

Berlahan kepanikanku mulai reda.aku teringat si sulung tak ada si sulung di dekatku dengan berteriak keras dan mata jelalatan aku mencari cari di antara kerumunan orang orang.kepanikanku muncul kembali aku mencari dan terus mencari hingga ku temukan ia sedang menangis histeris memanggilku seorang bapak dan seorang ibu sedang berusaha menenangkannya.Aku mendekatinya dan mengelus kepalanya melepaskan si tengah dari dekapanku dan memeluk si sulung berusaha menghiburnya dan mengatakan aku masih ada untuknya.Si sulung langsung terdiam mengenali suaraku ya semua wajah dan tubuhku belepotan lumpur aku seperti orang yang baru bangun dari kubur penuh tanah.Setelah tangisan si sulung reda aku mencari tempat agr anak anakku bisa beristirahat walaupun lumpur masih menempel di tubuh kami.seseorang menunjukkan tempat agar kami bisa sekedar duduk.ku gendong kembali si tengah dan si sulung memegang bajuku takut terlepas lagi.Gerimis mulai turun seakan hendak membersihkan tubuh kami dari lumpur.Ditempat beratap sebuah rumah tak bertembok sudah banyak orang yang berteduh aku menjatuhkan diriku melepaskan gendongan.anak anak duduk di sampingku rasa letih mulai terasa menghinggapi ke dua kakiku aku tak bisa menggerakkan kedua kakiku yang mulai mati rasa.Aku duduk bersandar di sebuah kayu usang sambil mengawasi anak anak yang sudah tenang tak sadar aku tertidur dalam keletihan yang luar biasa.

Aku terbangun ketika ku dengar suara gaduh, suara tangis histeris dan beberapa orang berbicara namun terdengar setengah berteriak.membukamata ku sakasikan beberapa orang ada di dekatku anak anakku menangis semua anak anak di gendong berusaha menenangkan.Aku hendak bangun namun kakiku tak bisa bergerak aku berusaha memanggil anak anak namun suaraku serak.seseorang memberiku minum,ku minum dan meminta anak anakku kembali.seseorang mengatakan jika aku pingsan selama beberapa jam.Aku meminta maaf dan minta agar memaklumi anak anakku yang melihat ayahnya terseret arus lumpur mereka hanya menganggukkan kepala mengerti.Terbayang wajah suami yang terseret arus berteriak minta tolong tapi tak ada yang menolong disaksikan anak anaknya yang menangis memanggilnya.Tubuhku menggigil pilu terluka duka dan nestapa menjadi satu.menyayat bagai sembilu yang mengiris tipis hati dan kehidupanku .Sedang ke depan aku tak tahu lagi bagaimana aku bisa membangun kehidupan bersama anak anak.berpeluh penuh tanah firasat apa yang akan datang nanti aku tak tahu

Selama dua hari aku dan anak anak tak berganti baju rengekan anak anak mencari ayahnya membuatku pilu belum ada bantuan dari pemerintah.bantuan datang hanya dari orang orang yang tinggal di situ dan sedikit bantuan dari kelurahan yang memberi kami nasi bungkus.Setiap aku bisa meninggalkan anak anak aku mencari tubuh suamiku diantara mayat mayat dan Lumpur yang menggenang bekas bukit yangkami tempati dulu.tak bisa ku sangkal maut telah memanggilnya Mencari dan terus ku cari tak ada lagi yang bisa ku perbuat untuk bakti terakhirku yaitu menguburkannya dengan layak.Dihari ketiga evakuasi di lakukan aku menemukannya berada di bukit telah menjadi mayat.Aku mengenalinya tubuhnya yang terbalut penuh tanah seakan telah menguburkan.sarung yang di pakai untuk menggendong si tengah masih di tubuhnya dari sarung itulah aku mengenalinya.sarung yang ku pakai khusus untuk sholat di mintanya untuk berselimut di malam terakhirnya hatiku treyuh tak kuat menahan diri aku pingsan di tempat di temukannya mayat suamiku.Sadar dari pingsan aku melihat mayatnya sedang di bersihkan.ku ambil sarung yang masih berada di tubuhnya seakan sarung itu adalah satu satunya harta yang hanya bisa di wrisankannya padaku membantu membersihkan jenazahnya terasa getir sekali setelah tubuhnya agak bersih ku bawa anak anakku untuk melihatnya,melihat untuk yang terakhir kalinya.Hidupku teramat perih kemiskinan selalu menggelayuti kehidupanku saat aku sedang berada di puncak bahagia allah telah memanggilnya dengan tragis.tak dapat ku mengerti apa sebenarnya kesalahanku kesalahan suamiku atau kesalahan anak anakku hingga mengalami tragis bahkan seluruh orang kampong ini bertanya apa salah kami?


***2-5-2010***

0 Response to "cerpen kisah tragis korban longsor"

wdcfawqafwef